THR BAGI PEKERJA YANG MENGALAMI PHK
THR BAGI PEKERJA YANG
MENGALAMI PHK
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN APA SAJA YANG MENGATUR MENGENAI
TUNJANGAN HARI RAYA (THR)?
Mengenai THR diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dan lebih rinci diatur dalam peraturan
pelaksananya yakni Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6 Tahun
2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan
(Permen 6/2016) dimana peraturan ini menggantikan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994. Paska perubahan aturan
ketenagakerjaan melalui omnibus law Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UU 11/2020) berlaku pula sejumlah aturan baru mengenai THR dan
lebih rinci lagi diatur dalam peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (PP 36/2021).
Sejumlah aturan dalam UU 13/2003 sepanjang tidak dicabut, diubah, dan direvisi
tetap berlaku mendampingi aturan baru dalam omnibus law.
JIKA PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU
(PKWTT) MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SEBELUM HARI RAYA, APAKAH
PEKERJA TETAP BERHAK ATAS THR?
Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016, menyebut hak atas THR hanya
dimiliki oleh pekerja dengan status tetap (Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu/PKWTT) yang mengalami PHK terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum
hari raya keagamaan. Dengan kata lain, jika hubungan kerjanya berakhir dalam
jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka pekerja yang
bersangkutan tetap berhak atas THR. Namun sebaliknya, jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama
dari 30 hari, maka hak atas THR dimaksud gugur.
BAGAIMANA JIKA YANG MENGALAMI PHK ADALAH PEKERJA DENGAN PERJANJIAN
KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT), APAKAH PEKERJA JUGA BERHAK MENDAPATKAN THR?
Ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016 seperti di
atas hanya berlaku bagi pekerja dengan PKWTT. Artinya bagi pekerja kontrak
(pekerja yang dipekerjakan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT), walau
kontrak hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya
Keagamaan, tetap tidak berhak atas THR. Tidak ada toleransi ketentuan mengenai
batasan waktu 30 hari dimaksud. Jadi pekerja kontrak yang berhak atas THR harus
benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja sekurang-kurangnya sampai pada
“hari H” Hari Raya Keagamaan, sesuai agama yang dianut oleh pekerja yang
bersangkutan.
APA SANKSI YANG DIBERIKAN BAGI PENGUSAHA YANG TIDAK
MEMBAYARKAN THR?
Pasal 10 Permenaker 6/2016 dan pasal 62 PP 36/2021 mengatur,
pengusaha yang melanggar ketentuan pembayaran THR dikenai denda sebesar 5% dari
total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha
untuk membayar. Adapun batas waktu pembayaran adalah paling lama 7 hari sebelum
hari raya keagamaan (pasal 9 ayat (2) PP 36/2021). Pengenaan denda tersebut
tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR keagamaan
kepada pekerja.
Lebih lanjut pasal 11 Permenaker 6/2016 dan pasal 79 PP
36/2021 menyebut Pengusaha yang tidak membayar THR keagamaan kepada pekerja
dalam waktu yang ditentukan, juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa,
teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian
atau seluruh alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha. Pengenaan sanksi
administratif ini juga tidak menghilangkan kewajiban pengusaha atas denda
keterlambatan membayar THR